ACARA seratus hari mengenang kepergian penyair Sitor Situmorang (1924-2014) dibungkus dengan berbagai kegiatan. Mulai dari pameran foto dan sampul buku, peluncuran pilihan cerpen terbaik, pentas musikalisasi puisi, hingga pembacaan puisi serta cerpen milik Sitor. Semuanya berlangsung lewat acara bertema 100 Kenangan Sitor Situmorang: Belajar Menjadi Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Senin (20/4) hingga Rabu (22/4) lalu. Sahabat-sahabat Sitor pun datang memberi dukungan untuk acara tersebut. Ada hal menarik, yaitu testimoni penyair Toeti Heraty. Penyair berusia 81 tahun itu hadir mengisahkan sesosok Sitor yang flamboyan dan penuh misteri. Pada era 60-an, Toeti tinggal di Bandung sebagai dosen dan peneliti. Ia bergaul dengan seniman, semisal Mochtar Apin (alm), AD Pirous, Srihadi Soedarsono, dan Sitti Farida Srihadi.
"Pada suatu hari, Apin dan kawan-kawan membawa teman mereka, Sitor. Di situlah saya pertama mengenalnya," kisah Toeti, dalam pidato singkat di malam puncak. Pertemuan kedua terjadi pada 1981 di Festival Puisi Indonesia-Belanda pertama yang diselenggarakan Erasmus Huis, Jakarta. "Di acara itu, tampil penyair-penyair yang sudah lama tak kelihatan. Saya bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, Rifai Apin, dan Sitor," paparnya. Persahabatan bersama Sitor, aku Toeti, memberikan dampak positif. Dia mengaku ikut terjangkit pandangan dan pemikiran tentang eksistensialisme, absurditas, dan nihilisme. Toeti kerap bertemu dengan Sitor di sebuah restoran miliknya yang berada di kawasan Menteng.
"Saya sering kali melihat Barbara dan Sitor selalu bertemu di restoran saya. Tentu, saya perhatikan bukan saja apa yang mereka makan. Namun, apa yang kira-kira menjadi sorotan antara mereka berdua itu," kisahnya, di hadapan dua ratusan tamu undangan. Barbara tak lain ialah istri kedua Sitor. Nama lengkapnya Barbara Brouwer. Mereka tinggal di Jalan Maluku yang tidak jauh dari rumahnya di Jalan Cemara, kawasan Menteng. Lewat kedekatan sebagai sahabat, Toeti menilai Sitor telah menempuh jalan hidup berbeda. Apalagi, saat Sitor memutuskan ikut bersama Barbara ke Belanda dan Paris menjadi titik puncak dalam pengelanaannya. Untuk mengenang Sitor, Toeti pun membacakan sebuah puisi berjudul Hamilku karya Sitor. Sitor menulis puisi itu untuk Barbara. "Sajak ini dituliskan sesudah hampir 10 tahun ia (Sitor) dalam tahanan (1967-1874). Lalu keluar, merasakan kebebasan, lalu menemukan seorang perempuan idaman dan akhirnya melihat perempuan ini sebagai pasangannya. Sajak ini Sitor buat sewaktu Barbara mengandung," ungkap Toeti.
Pembacaan puisi Sejenak, Toeti menarik napas perlahan. Ia tampak santai bercerita tentang Sitor di atas podium. Tak lama berselang, ia pun membacakan puisi Hamilku dengan nada datar. Petikan puisinya, berbunyi: Hamilmu, ini hamilku juga/sekiranya tak senjang antara kebetinaanmu dan kejantananku/kusebar serbuk lendir di rahim tak nyana/tanpa pengakuan cinta atau sedang terlalu cinta/ketika aku sendiri tak nyana// Hamilmu ini hamilku pertama walau aku sudah beranak pinak/waktu aku tak punya rencana/hal kemungkinan wanita bisa bunting// kini aku paham, walau tak sudi makian berdarah/...membikin aku terlalu sadar/di atas semua venus/karena aku tak punya identitas di luar dan tanpa wanita/sedang kau hilang identitas yang kau gandrungi tanpa padanan kelakianku// terbelunggu tali pusat ...betina jantan, jantan betina/pada tatanan syahwat asli// aku butuh menulis ulang kisah kinesis tanpa ular, tanpa apel, tanpa Adam, tanpa Eva/hanya sebuah pohon hidup senggama/buah dadamu berbatang pahaku dalam pasungan uratmu/maumu betinaku, mauku kini/di atas pelaminan sudra pasangan mempelai/hampir binatang, hampir dewa//.
Toeti sangat menjiwai puisi tersebut. Itu membuat penonton memberikan tepuk tangan meriah di saat ia selesai baca. Maklum, puisi itu merupakan karya asli Sitor yang belum pernah terekspos ke media massa. Sebuah puisi yang mampu menggugah penonton, malam itu. Acara mengenang Sitor mendapatkan simpati para rekan-rekannya. Semasa hidupnya, Sitor memiliki istri pertama, Tiominar (alm). Sitor mempunyai enam orang anak dari istri pertamanya tersebut, yakni Retni, Ratna, Gulontam, Iman, Logo, dan Rianti. Malam itu, Gulontam hadir di podium dengan berjalan sedikit menunduk. "Sitor Situmorang sebagai penyair, budayawan, dan negarawan meski telah menjadi pengembara ke seluruh dunia, hatinya tetap melekat dan kembali ke Indonesia, tanah kelahirannya," jelas Gulontam.
Kenangan demi kenangan bergema. Satu per satu sahabat melantunkan kenangan. Bahkan, Guntur Sitohang, 79, sahabat Sitor, didatangkan dari Sumatra Utara. Ia memainkan instrumen musik tradisional Batak. "Ada semboyan orang Batak. Selesai kesedihan, datanglah kegembiraan. Horas!" Pekiknya seraya memainkan instrumen tiupnya. Lewat acara 100 Kenangan Sitor, pengunjung dibawa untuk mengenal lebih dekat karya sastra almarhum. Ia bukan lagi milik bangsa Indonesia, tapi milik warga dunia. Anak desa yang mendunia dan akan selalu dikenang selamanya.